Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang
(Denpasar, 15 Juli 2012) Kemarin
lusa saya berkesempatan mengunjungi dua pura di Jawa Timur, yaitu Pura Agung
Blambangan dan Pura Mandara Giri Semeru Agung Lumajang. Kami berangkat dengan
bis pada Kamis (12/7) pagi dan sekitar pukul 12 Wita sudah tiba di Pura Agung
Blambangan, Banyuwangi.
Sembari beristirahat kami
melakukan persembahyangan bersama di Pura Agung Blambangan. Keberadaan Pura
Agung Blambangan sendiri tidak lepas dari sejarah keberadaan kerajaan
Blambangan yang pernah menganut Hindu. Menurut Pembina Yayasan Pura Agung
Blambangan Untung Mardiyanto, sebelum adanya Pura Agung Blambangan pemeluk
Hindu biasanya melakukan persembahyangan bersama di situs Umpak Songo setiap
hari Kuningan. Sampai hari ini pun persembahyangan bersama yang paling ramai,
yang disebutnya sebagai piodalan berlangsung setiap hari Kuningan di Pura Agung
Blambangan. Pura Agung Blambangan memang baru akan melaksanakan Ngenteg Linggih tanggal 3 Agustus 2012
ini.
Padahal menurut Untung
pembangunan Pura Agung Blambangan sudah berlangsung sejak tahun 1975 secara
bertahap menyusul adanya kebangkitan Hindu di daerah tersebut pada tahun 1968.
Selama pembangunan telah ditemukan lima sumur di areal pura yang digunakan sebagai
air suci atau tirta. Tempat
berdirinya Pura Agung Blambangan ini sebagai tempat yang dirasa paling cocok
setelah selama tiga tahun dilakukan pemilihan tempat untuk memfasilitasi umat
yang biasa bersembahyang di Umpak Songo. Situs Umpak Songo sendiri dipercaya
sebagai tempat dimana Kerajaan Blambangan dahulu berdiri. Bahkan pelinggih di
Pura Agung Blambangan dibuat mirip dengan yang ada di Umpak Songo.
Setelah beristirahat makan siang
di Blambangan kami melanjutkan perjalanan ke Lumajang. Sayangnya jadwal kami
terpaksa terhambat karena ada pawai di jalur Jember yang kami lalui. Di Jember
tampak beberapa speaker besar yang ditumpuk di atas mobil diikuti dengan
puluhan anak-anak, remaja dan orang tua yang berjalan dan berjoget mengikuti
irama musik dari speaker tersebut. Hanya saja pemandangan ini berlangsung
hampir sekitar dua jam karena ada banyak iringan seperti itu yang tampaknya
mewakili masing-masing desa.
Akhirnya kami sampai di
penginapan sekitar pukul 07.00 Wita. Setelah beristirahat sejenak dan mandi
kami langsung menuju Pura Mandara Giri Semeru Agung Lumajang. Lucunya ternyata
di lokasi tidak sedingin yang saya bayangkan padahal saya sudah memakai syal di
leher, sehingga syal saya lipat kembali. Di Pura Mandara Giri kami mendengarkan
darma wacana dari Ida Pedanada Wayahan Bun asal Griya Sanur Pejeng yang
mengambil tema ‘Perkembangan Agama Hindu dari Jawa ke Bali dan Hubungan Gunung
Semeru dan Gunung Agung’. Menurut Ida Pedanda Wayahan Bun perkembangan Agama
Hindu di Indonesia bermula dapat
diketahui dari berbagai prasasti yang menunjukkan perjalananan penyebaran Agama
Hindu mulai abad ke-4 di Kutai yang berlanjut ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur hingga ke Bali.
Masih menurut Ida Pedanda Wayahan
Bun, dalam mitologi Sang Hyang Pasupati yang melinggih di Gunung Semeru
memiliki perhatian luar biasa terhadap pulau Bali. Dalam cerita, untuk
menegakkan pulau Bali yang saat itu mengambang Betara Pasupati menugaskan
Bedawang Nala dan tiga naga untuk membawa sebagian puncak Gunung Semeru untuk
menjadi pacek pulau Bali. Bukan itu
saja, Sang Hyang Pasupati juga menugaskan ketujuh putranya untuk mengajegkan Bali, sehingga Bali saat itu
dikenal sebagai pulau tempat suka tanpa
wali duka, atau tempat mencari kebahagiaan sejati. Usai darma wacana
dilakukan persembahyangan bersama hingga pukul 12.00 Wita yang dipimpin Jro
Mangku Misto.
Menurut Ketua PHDI Lumajang Edi
Sumiyanto Gunung Semeru dipercaya sebagai miniatur dari Gunung Mahameru yang
ada di India dan menjadi tempat melinggih Sang Hyang Pasupati yang sangat sakti.
Keunikan dari Pura Mandara Giri Semeru Agung adalah keberadaan Padmanaba. “Jadi
kalau di Besakih ada padmanya ada tiga, disini dijadikan satu yang disebut
padmanaba,” ujar Edi.
Comments