Mencari Keharmonisan Hidup dengan Sesama Manusia
Perseteruan Rossi dan Marquez jadi bahan debat terbuka di media sosial. sumber: motogp.com |
Bayangkan, hanya karena pembalap bersenggolan saja, manusia bisa saling
menghujat satu sama lain di sosial media. Maka tak heran rasanya jika
kepentingannya lebih besar seperti politik dan ekonomi pengaruh hujatannya bisa
jadi lebih besar. Misalnya soal Pemilu atau Proyek besar.
Mungkin ini mengapa kebahagiaan
agak menjauh dari masyarakat kita. Di Bali kami percaya filosofi Tri Hita
Karana. Tiga sumber kebahagiaan masyarakat, yakni keharmonisan manusia dengan-Nya,
keharmonisan manusia dengan manusia lainnya dan keharmonisan manusia dengan
alam. Saya melihat dari sebaran pendapat yang muncul di sosial media rasanya
tingkat religiusitas dan kepedulian terhadap alam semakin meningkat. Meskipun
harus diakui kadang muncul fanatisme yang penyampaiannya cukup berlebihan
sehingga menimbulkan sekat baru diantara masyarakat.
Sehingga fanatisme ini juga
menjadi satu masalah tersendiri dalam menemukan kunci kebahagiaan kedua yakni
keharmonisan antar sesama manusia. Bahkan ada pula fanatismenya ditujukan bukan
kepada keyakinan atau pandangan ekologinya, namun fanatik terhadap manusia
(tokoh). Namun kategori yang terakhir ini memang sulit untuk dinilai begitu
saja dan lalu dihakimi, karena pandangan yang kebetulan sama tidak menjadikan
seseorang dianggap fanatik terhadap seseorang.
Kembali ke soal fanatisme (yang
tiba-tiba muncul menjadi dua paragraf di tulisan ini). Bisa jadi ini (salah
satu) yang menghalangi keharmonisan sesama manusia yang semakin kabur. Fanatik
pada agama, adat, budaya, tokoh politik, sistem, bahkan fanatik pada dirinya
sendiri (baca: egois). Dan lawan dari fanatisme adalah TOLERANSI. Ke manakah
toleransi? Mungkin ia tenggelam. Katanya sesuatu yang terus dibicarakan menjadi
kebenaran. Dan itulah yang terjadi di media sosial, fanatisme yang terus
menerus dibicarakan. Bahwa A yang benar dan B yang salah. Tapi mengapa jika A
benar, ada yang menganggap B benar. Pokoknya!! Lalu dimana toleransi? Toleransi
tak mati, ketika saya menulis ini, artinya toleransi masih hidup, cuma saya
juga baru ingat. Karena tiba-tiba toleransi ini ditakuti. Katanya toleransi ini
mengurangi tingkat kebenaran si A, toleransi ini juga meracuni kesahihan pandangan
si B.
Masih banyak katanya, tapi untuk
edisi kali ini, rasanya untuk menemukan kembali hubungan sesama manusia, kita
perlu bertoleransi. Tidak, saya tak mencoba mengatakan pendapat saya ini benar
sekali, saya akan tetap bertoleransi terhadap yang memiliki pandangan berbeda
dari saya. Dan ternyata dengan sikap ini saya merasa lebih ringan. Lebih
bahagia?? Happiness means you are loved, so I must be loved to know that. Well
that means I have found another things to write about this topic. LOVE...
Kesimpulan: Berbeda pandangan
boleh, tapi coba jaga bahasa dan cara penyampaian
Denpasar, 4 November 2015
My loosely writing
DP
Comments