Menebak Arah Koalisi Setelah Pemilu Legislatif

Hasil pemilu legislatif resmi dari KPU memang belum final. Namun hasil sementara menunjukkan hasil yang tidak berbeda jauh dari hasil final quick count yang ditayangkan televisi swasta sehari setelah pemilu 9 April lalu. Hasil itu antara lain menempatkan partai Demokrat di posisi pertama dengan perolehan suara ± 20%, diikuti dengan partai PDI-P dan Golkar dengan perbedaan tipis di kisaran ± 15%, sementara itu papan tengah diisi PKS dan PAN dengan ± 7-8%, selanjutnya diikuti PPP, PKB dan dua partai baru Gerindra dan Hanura sebagai partai-partai yang diperkirakan memenuhi parliamentary treshold untuk dapat duduk di Senayan.

Hasil yang mungkin cukup mengagetkan adalah tingginya peningkatan perolehan suara partai Demokrat dibandingkan pemilu 2004 yang secara tidak langsung menggerogoti persentase Golkar dan PDI-P yang mengalami penurunan suara cukup tinggi. Meskipun hasil ini ditengarai sebagai keberhasilan partai Demokrat mengusung figur SBY sebagai tokoh yang popularitasnya berimbas pada keputusan rakyat memilih partai tersebut. Hasil ini sekaligus mementahkan kepercayaan diri partai Golkar yang sebelumnya berniat mengusung JK sebagai calon presiden sendiri. Bagi PDI-P sendiri hasil ini meski mengecewakan tetapi tidak terlalu mengagetkan mengingat popularitas Megawati yang cukup menurun akhir-akhir ini. Penurunan di PDI-P pun tidak sesignifikan Golkar.

Permasalahannya dengan sistem demokrasi multi partai ini, wacana koalisi menjadi pilihan rasional partai. Dengan menguasai ± 20% kursi legislatif, partai Demokrat memang menjadi satu-satunya partai yang memenuhi syarat mengusung capres. Namun angka tersebut tidak cukup kuat dalam usaha untuk memenangkan pilpres dan terutama untuk mendapatkan pemerintahan yang kuat di parlemen. Apalagi dengan partai-partai yang lainnya, mereka HARUS berkoalisi untuk dapat mencalonkan presiden.

Apabila menilik faktor pencalonan presiden, maka hasil pemilu legislatif ini menempatkan SBY sebagai calon yang dipastikan tidak terganjal menuju pilpres. Sementara itu Prabowo, Wiranto, Hidayat Nur Wahid dan Soetrisno Bachir meskipun masih memiliki peluang, tampaknya harus sadar diri dengan perolehan suara partai mereka. Megawati sendiri sejak awal memproklamirkan diri sebagai capres terlepas dari koalisi apapun yang akan dibentuk PDI-P, dan hal ini masih sangat memungkinkan dengan perolehan suara partai tersebut. Sementara posisi Golkar menjadi dilematis karena meskipun masih memiliki suara yang cukup banyak, Golkar membutuhkan koalisi dengan salah satu dari Demokrat atau PDI-P. Bagaimana dengan capres dengan Golkar? Sejak awal majunya JK ke dalam bursa pilpres tidak muncul dari inisiatif sendiri. Selain popularitasnya yang rendah sebagai capres, terjadi dualisme di tubuh Golkar menyangkut majunya JK sebagai pilpres, sebagian petinggi partai tersebut - termasuk JK sendiri - lebih memilih jalur aman untuk kembali menjadi cawapres SBY.

Setelah kemarin Prabowo menemui Megawati, hari ini beliau menemui Wiranto. Sementara itu PKS sejak kemarin terus mengikrarkan diri sebagai kawan Demokrat. Secara implisit, Demokrat dan PDI-P mulai menjadi dua magnet besar. Selain Gerindra dan Hanura yang mengarah ke PDI-P dengan wacana kecurangan dalam Pemilu, PPP pun ditengarai sudah lebih dulu merapat. Sementara di kubu Demokrat selain PKS yang sangat PD akan berkoalisi dengan Demokrat, PAN dan PKB juga dinilai akan mendukung Demokrat. Dimana posisi Golkar? kembali Golkar belum dapat menegaskan preferensi koalisi ini. Disini sesungguhnya posisi Golkar menjadi penting sebagai penentu kekuatan bagi kedua kubu tersebut.

Dalam pernyataannya, seorang petinggi Golkar menyebutkan bahwa Golkar mengharapkan koalisi yang berdasarkan kebangsaan, pemerintahan yang kuat di parlemen lebih baik sehingga capres yang kuat akan menjadi pertimbangan. Dari pernyataan kedua tersebut, secara sederhana peluang Demokrat dengan SBYnya lebih kuat. Namun seperti yang telah kita ketahui, perbedaan pendapat di dalam tubuh Golkar masih berlangsung. Jika pertemuan JK-SBY malam ini diartikan sebagai penjajakan kembali ketua umum Golkar kepada SBY - dengan kemungkinan besar menarik kembali pernyataannya sebagai capres – maka bisa saja koalisi Golkar-Demokrat selangkah lebih maju. Namun keinginan grass root Golkar yang direstui Dewan Pembina Surya Paloh bisa saja mengartikan langkah ini sebagai pengkhianatan JK. Jika kondisinya begini maka kemungkinannya justru 50-50 atau kekuatan di parlemen nanti masih tanda tanya karena satu partai belum tentu satu suara.

Dari sini pertanyaan mendasar sebenarnya harus kembali ditanyakan. Sebagai sebuah partai politik, dimana letak ideologi termasuk visi dan misinya dalam proses pemilu ini? Hal ini mengingat proses penyampaian bentuk partai ini saat ini lebih tertutupi oleh pencitraan atau dalam bahasa lain advertising. Begitu berperannya pencitraan ini sehingga tidak ada lagi orator semacam Bung Karno yang mampu menggugah hati nurani. Pencitraan ini pun sering menimbulkan blur terhadap ideologi partai sesungguhnya. Ibarat semangka, luarnya hijau dalamnya ternyata merah ataupun sebaliknya. Termasuk dalam hal koalisi ini, ada indikasi yang menunjukkan partai tidak mempertimbangkan lagi tujuan aslinya, namun lebih pada hitung-hitungan untung rugi, matematika kekuasaan. Apabila ini yang menjadi pijakan, maka bisa jadi banyak kawan sebangsa ini yang akan tertipu karena memilih partai yang ternyata kemudian tidak berlaku seperti yang diharapkannya. Bisa saya bayangkan memilih partai menjadi seperti memilih operator telepon seluler dengan iklan yang segudang namun kita sesungguhnya tidak tahu ada tanda asterisk(*) di iklan tersebut (itupun jika si pembuat iklan berbaik hati memberi informasinya). Sehingga pertanyaan akhirnya adalah kapan kita bisa memilih partai dengan PD karena mengetahui arah politiknya secara jelas, misalnya seperti Republik dan Demokrat di AS yang memang sudah dapat ditebak arah kebijakan politiknya masing-masing.

Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang