Ali, The Risk Taker

Statistik Muhammad Ali, bbc.com

“He who is not courageous enough to take risks will accomplish nothing in life”
Muhammad Ali

Tanggal 3 Juni lalu, dunia kehilangan salah satu ikonnya. Ia lah petinju legendaris dunia Muhammad Ali. Hampir tak ada warga dunia yang belum pernah mendengar kiprah pria bernama asli Cassius Marcellus Clay ini. Ia seperti Elvis Presleynya dunia tinju.

Saya sendiri bukan penggemar olah raga tinju, meski beberapa petinju saya tahu. Tapi kalau ada petinju yang pernah membuat saya berniat untuk nonton adalah Mike Tyson, khususnya ketika berhadapan dengan Evander Holyfield. Yang kedua tentunya petinju kebanggaan kita Chris John, apalagi waktu itu saya masih wong Semarang.

Saya yang sudah hampir tak pernah menonton TV mulai mengetahui Muhammad Ali meninggal dari media sosial. Ya, tiba-tiba di media sosial saya lihat quotes dari Muhammad Ali bertebaran. Meski belum ada yang share beritanya, feeling saya sih beliau meninggal dunia. Dan setelah saya cek di Google memang benar. 

Muhammad Ali memang fenomena yang luar biasa. Bukan saja di dunia tinju, tapi olah raga pada umumnya. Ia salah satu yang pertama mendominasi pada masanya. Ya saya rasa itu kata kunci untuk menjadi legenda, dominasi. Seperti Maradona dan Pele di Sepakbola, Michael Jordan di Basket, Michael Schumacher di F1 atau Michael Doohan di balap motor. Bahkan banyak juga cerita di luar olah raga yang bisa menarik bagi dunia. Soal warna kulitnya misalnya, soal kepercayaannya, soal penyakitnya dan sebagainya.

Tapi pertanyaan sebenarnya adalah, dibalik berbagai pencapaian yang menjadi inspirasi bagi kita, maukah kita menjalani hidup seperti Ali? Atau pertanyaan yang lebih relevan mungkin, beranikah kita? Bakat menjadi hebat hanya dengan pengorbanan. Seberapa cukupkah kita menjadi manusia? Itu yang membedakan pencapaian kita satu dengan yang lain. Yang mana lebih baik? Semua adalah pilihan. Karena kata cukup pun relatif antara setiap manusia. Tetapi dunia sudah menunjukkan berbagai tanda-tanda dan petunjuk untuk kita yang ingin menjadi apa.

Hari ini saya mendapat sebuah pelajaran. Ketika seorang pemimpin yang jabatannya pada waktunya akan berakhir ditanya bukankah seharusnya ia mengakhirinya dengan soft landing, Ia menjawab, orang-orang terkenal ternyata tidak mengalami yang disebut soft landing, misalnya Soekarno, Soeharto dan Gus Dur. Jadi ia berkesimpulan: We’ll See, kita lihat nanti. Hubungannya dengan Ali? Dalam perspektif saya, soft landing ternyata memang bukan pilihan. Ali bertarung sebaik mungkin sepanjang karirnya. Apakah penyakit Parkinson merupakan resiko dari berbagai pertarungan itu? Pada saat itu ia tak tahu. Ia hanya bertarung berdasarkan idealismenya. Pada akhirnya meski sudah gantung sarung tinju, Ia harus bertarung lagi, dengan penyakitnya.

Oya soal quote Ali, favorit saya tetap
“Float Like A Butterfly, Sting Like A Bee” 

Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang