Mary, Love of His Life (Tentang Film Bohemian Rhapsody)

Film biopik selalu menarik perhatian saya. Jadi ketika tahu ada film tentang Freddie Mercury, vokalis fenomenal grup musik legendaris Queen tentu menarik perhatian saya. Tak ada rencana untuk nonton bioskop, karena hari-hari ini kami hanya ke bioskop jika film itu sepertinya menarik juga buat K. Sampai akhirnya istri secara mendadak pengen nonton bioskop dan dipilihlah film Bohemian Rhapsody mengungguli A Man Called Ahok.

Entah jika ada orang di generasi saya yang tidak mengenal Queen. Meski Queen eksis sebelum saya lahir hingga saya masih balita, pengaruh Queen terus berlanjut. Queen dan Freddie Mercury nya adalah legenda musik. Dan memang karya mereka yang paling fenomenal adalah Bohemian Rhapsody. Secara pribadi saya menganggap ini salah satu lagu terbaik sepanjang masa. Secara pribadi pula banyak pertanyaan mendasar soal lagu ini. Bukan soal liriknya, tapi soal proses penciptaannya, siapa yang terlibat, siapa yang mereka ajak untuk menciptakan efek opera nan megah. Dan di film ini misteri itu terjawab. Bahkan proses kreatif penciptaan lagu ini menjadi salah satu momen favorit saya di film ini.

Karya fenomenal lain Queen yang membekas bagi kami para pemuda 90an tentu saja lagu “Love of My Life”. Lagu bernuansa akustik ini memang dibawakan Freddie dengan penuh penjiwaan sehingga mampu menyentuh para pendengar. Saya tak ingat apakah film ini menggambarkan proses penciptaannya, namun saya berani berpendapat lagu ini jadi salah satu roh utama dalam film ini. Namanya Mary Austin (sepanjang film hanya disebut Mary). Perempuan yang jadi cinta sejati seorang vokalis tenar yang kemudian dikenal sebagai seorang gay. Mary yang mengangkat Freddie, melepas Freddie dan akhirnya juga menyelamatkannya (setidaknya itu yang saya tangkap di film ini).

Seperti film lainnya, hubungan antar karakter jadi bumbu utama penguat rasa film biopik ini. Bukan cuma Mary, pasang surut hubungan Freddie dengan personil Queen lainnya Brian May, Roger Taylor dan John Deacon juga menjadi sisi menarik. Bagaimana pentingnya saling memahami di tengah perbedaan demi tujuan yang sama. Bagaimana menghadapi ego yang rentan di dunia keartisan dan kondisi lainnya yang menggambarkan kehidupan sebuah grup musik. Disana terselip pula hubungan dengan manajemen. Yang paling mencolok tentu saja keberadaan Paul Prenter. Sosok di samping Freddie yang kemudian jadi sosok ‘Sengkuni’. Mungkin tak semua setuju dengan saya, tapi menurut saya kehadiran Paul di film ini adalah penyelamat sosok Freddie. Paul menjadi alasan-alasan sisi negatif Freddie. Mulai dari kehidupan gay yang berujung HIV, pemecatan manajer hingga terbelahnya Queen.

Namun ada satu kesalahan yang tak bisa ditimpakan pada Paul. Ini soal hubungan Freddie dengan keluarganya, khususnya ayahnya. Bagi kita orang timur, hubungan dengan orang tua sangat penting. Dan Freddie, pemuda keturunan Asia yang besar di Inggris baru menyadari hal itu justru pasca kejatuhannya. Freddie memang punya bakat, punya kepercayaan diri yang luar biasa, profesionalisme, kreativitas, totalitas, perfeksionis dan berani mengambil kesempatan. Semua modal itu menjadikannya legenda sekaligus di saat yang sama merenggutnya dari beberapa hal penting dari hidupnya. Sebuah contoh sempurna akan ketidaksempurnaan yang ada dalam hidup ini.

Akhirnya, Queen adalah legenda musik dunia. Yang musik-musiknya menginspirasi banyak orang. Ada satu masa dalam hidup saya dimana lagu-lagu Queen menjadi ‘soundtrack’ saya sehari-hari. Meski tak semua lagu itu tampil di film ini, menutup film dengan lagu ‘Don’t Stop Me Now’ adalah hal yang sangat tepat dilakukan oleh pembuat film Bohemian Rhapsody. It touch me at the end.

Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang