Batas Toleransi Orang Bali

screenshot video pengambilan canang

Kemarin, sebuah video viral di media sosial. Isinya seorang perempuan Bali sedang menghaturkan canang di pantai sebagai sebuah prosesi melasti, membersihkan diri jelang Hari Raya Nyepi. Yang menarik dalam proses penghaturan itu tampak beberapa pria berpakaian bebas (tidak berpakaian adat Bali) mengawal betul sang Ibu. Kontroversi muncul ketika canang ditaruh di tanah dan dihaturkan seketika salah satu pria mengambil canang tersebut. Ia tidak sendiri ada beberapa orang yang juga berkeliaran di tempat yang diduga pantai Padanggalak Denpasar tersebut. Tujuan mereka sama mengambil uang yang ada di atas canang yang dihaturkan. Saya tak mau menduga-duga siapa para pengambil uang tersebut. Tapi mestinya mereka yang memiliki kepercayaan yang sama tak akan punya nyali melakukan tindakan tersebut. Takut pada Beliau.

Yang jelas, si Ibu yang canangnya diambil tersebut tak bereaksi berlebihan. Memang raut mukanya bercampur antara kaget dan kesal. Sepertinya karena Ia merasa belum selesai benar menghaturkan canang tersebut. Namun hanya sebatas itu.

Reaksi netizen pun tak sepenuhnya dipenuhi dengan kekesalan dan kemarahan. Sebagian mencoba bijaksana dengan mengatakan biarlah uang itu diambil oleh orang yang ‘membutuhkan’, toh itu esensi kegiatan spiritual.

Masih di hari yang sama, Ibu saya bercerita. Beberapa waktu lalu Ia memilih keluar dari salah satu grup WA alumni sekolah. Alasannya, grup itu mulai diisi dengan postingan yang menimbulkan ketidaknyamanan. Sebagian berbau keagamaan. Ibu saya sekolah di Jawa, jadi secara agama Ia jadi minoritas di sana.

Ayah saya berkata, di Jawa ada filosofi Ngalah, Ngalih (Menghindar), Ngamuk. Apa yang dilakukan Ibu-Ibu di dalam dua peristiwa diatas adalah contoh dari dua N yang pertama Ngalah dan Ngalih. Lalu kapan Ngamuknya? Di Bali, yang paling terkenal adalah peristiwa Perang Puputan. Hari dimana orang Bali menyerbu penjajah dengan kondisi seadanya dan siap untuk mati. Habis-habisan. Ngamuk.

Kita tentu tidak ingin di masa depan ada lagi perang puputan di Bali. Kita bersyukur ketika Bom terjadi di Bali, pemerintah bergerak cepat, mulai dari penanganan korban sampai penyelidikan. Memastikan orang Bali tak berpikir macam-macam. Orang Bali bisa menahan diri dan kembali ke jalur spiritual.

Hal-hal yang dialami Ibu di pantai Padanggalak itu memang tak perlu sampai ditangani pemerintah pusat. Tapi tak berarti pula harus terus ditoleransi. Tak semua orang bisa berpikir positif. Paling tidak para pemuka agama perlu memberi arahan, agar si Ibu tenang, bahwa apa yang dialaminya tak mempengaruhi baktinya, atau justru meminta pemilik otoritas memberi jaminan bagi si Ibu bahwa di lain hari Ia bisa berbakti dengan tenang.

video:
https://www.facebook.com/imadejuliadi/videos/2064453866979802/

Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang