Generasi Xenial Pertama di Kabinet Indonesia


Nadiem Makarim, 35, Mendikbud Kabinet Kerja II (reuters)

Saya tersentak ketika sedang membaca komik terdengar om saya setengah berteriak “Ma, si anu jadi menteri A”. Dalam hati saya yang masih anak-anak “Wah Om kenal ya sama menteri itu”. 

Kejadian ini terjadi sekitar tahun ‘93 di rumah sepupu saya di Bandung, saya masih SD. Om Saya pejabat di Telkom, wajar saya berpikir begitu.

Tiga hari lalu, saat Presiden Jokowi memanggil calon menterinya, dalam hati saya berkata “Wow, si anu jadi menteri” agak mirip sama kata-kata om saya dulu. Tentu saja saya nggak kenal langsung sama si calon menteri, kenalnya ya lewat media.

Calon menteri yang bikin saya wow itu adalah Nadiem Makarim, (sekarang mantan) CEO Gojek yang umurnya kira-kira setengah tahun lebih muda dari saya. Disaat teman-teman seumurannya masih berada di ujung paling bawah birokrasi, Nadiem dipercaya Jokowi untuk berada di ujung teratas. Yang kemudian lebih mengejutkan lagi, Nadiem dipercaya memimpin pos Pendidikan dan Kebudayaan, posisi yang bukan saja diluar prediksi semua orang, tapi juga sangat strategis bagi bangsa ini. Posisi yang identik dengan guru dan profesor, profesi yang didominasi bukan saja orang-orang cerdas tapi juga senior.

Presiden Jokowi memang sudah mewanti-wanti akan mengangkat menteri dari anak muda, banyak orang menyebutnya generasi milenial. Toh di beberapa negara juga sudah ada generasi milenial yang menjabat menteri, termasuk yang paling dekat di negara tetangga Malaysia. Tapi, Nadiem Makarim, berusia 35 tahun lebih cocok disebut sebagai generasi Xenial. Sebuah generasi mikro yang bisa masuk ke generasi X dan generasi Y (milenial).

Generasi Xenial disematkan untuk mereka yang lahir di akhir tahun 70an sampai awal tahun 80an. Xenial adalah jembatan antara Generasi X dan generasi Milenial. Generasi ini dibesarkan dengan cara analog namun dewasa di masa digital. Generasi Xenial mengalami evolusi teknologi, mulai dari bacain pagernya ortu sampai video call di Whatsapp. Dari mengetik di mesin tik, komputer disket hingga smartphone android. Ada yang menyebut mereka yang masuk generasi ini pasti HP pertamanya merk Nokia atau Blackberry.

Memang masih ada perdebatan tentang kelahiran tahun berapa yang bisa masuk kategori ini, umumnya tahun yang disebut di kisaran tahun '77 hingga '83 atau '86. Tentu saja tidak semua yang lahir di tahun-tahun itu mengalami pengalaman hidup yang sama. Namun sosiolog menerima bahwa generasi Xenial punya kesamaan hidup di era hubungan manusia belum dijembatani sosial media hingga manusia intens berhubungan dengan sosial media.

Saya tidak tahu apakah ini jadi salah satu pertimbangan Joko Widodo menempatkan Mas Nadiem (ia meminta tidak dipanggil Pak) untuk mengurusi pendidikan di negeri ini. Bahwa orang-orang yang memangku kebijakan di negeri ini saat ini diisi oleh Baby Boomer dan Generasi X. Para pengambil keputusan ini terpaut jarak umur yang jauh untuk mengerti psikologis generasi milenial, apalagi generasi Z dan generasi alpha. Mereka bisa belajar mengikuti teknologinya, tapi dipertanyakan untuk mengikuti pola pikir dan tren generasi baru yang semakin cepat belajar dan dimudahkan teknologi.

Sebaliknya ini juga bisa jadi tantangan terbesar Nadiem. Cukupkah ia memiliki pengalaman untuk memperbaiki pendidikan di negeri ini. Ia jelas punya pengetahuan tentang tren ekonomi digital ke depan. Apa yang dibutuhkan untuk berkompetisi di dalamnya. Namun bisakah Nadiem mengkomunikasikan ini ke praktisi pendidikan, menerapkannya ke dalam sistem pendidikan. Atau justru Nadiem yang sukses mengembangkan sistem di startupnya akan memulai dengan dari mengembangkan sistem itu sendiri. Orang mulai bicara tentang digitalisasi pendidikan pasca Nadiem dilantik. Candaan soal aplikasi pendidikan mengemuka. 

Salah satu kelebihan dari generasi Xenial adalah mereka memiliki keseimbangan antara idealisme generasi Y dan realisme generasi X. Sambil tetap menatap masa depan yang indah, mereka masih sadar ada kerja keras disana. Disaat anak sekarang, para cucu hidup dengan teknologi yang memudahkan, Xenial tahu bagaimana proses sehingga kemudahan itu didapat. Mereka tahu apa beda sebelum dan sesudah adanya teknologi masa kini. Paling tidak ada harapan bagi Xenial untuk nyambung dengan Baby Boomer namun tetap tahu apa yang diinginkan generasi Y dan generasi Z.

Presiden Jokowi menegaskan tugas yang diberikan kepada Mendikbud adalah menyiapkan SDM siap kerja, siap berusaha dan menyambungkan antara pendidikan dengan industri. Mudah-mudahan ini berarti Nadiem nantinya bisa melahirkan SDM yang sesuai dengan kebutuhan SDM masa depan. 

Dengan pasar yang begitu besar Indonesia selalu digadang punya potensi ekonomi besar. Namun potensi menjadi hanya sekedar angka ketika SDM hanya didominasi pengguna, konsumen. Saya rasa sekarang yang diharapkan dari Nadiem adalah menjadikan SDM Indonesia sebagai produsen, kreator, inovator, dan memiliki kompetensi di belakang layar, membangun startup atau bekerja didalam startup. Mungkinkah? Mungkin saja, tapi harapan saya Nadiem bisa membangun SDM yang tech savvy (melek teknologi) namun berpegang pada kearifan lokal. Saya rasa hanya dengan menjaga keunikan itu Indonesia bisa bertahan ketimbang hanya berusaha mengkopi apa yang sudah dimiliki negara maju.

mesin tik jadi hal yang biasa buat anak generasi Xenial

Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang