Kok Nggak Swab Test Aja?


Di tengah munculnya berita yang menyebut hasil rapid test sebagai positif corona (COVID-19), di sebuah forum muncul pertanyaan: Kenapa tidak langsung swab test saja? Pemikiran semacam ini sebenarnya sudah sampai ke kepala Ketua Gugus Tugas Pencegahan COVID-19 Doni Monardo. Dalam keterangannya yang dimuat media awal April 2020, ia menyebut Pemerintah akan beralih meningkatkan kapasitas Tes Swab PCR di Indonesia sebagai alat tes yang lebih akurat untuk mendeteksi kasus positif COVID-19. Akurasi memang menjadi biang munculnya pemikiran ini. Rapid test cenderung memiliki akurasi yang rendah terhadap kasus COVID-19, sekitar 36 persen.

Tapi di saat yang sama Doni juga mengatakan tak akan meninggalkan Rapid Test. Ia mengatakan akan mencari rapid test yang lebih baik. Alasan lain yang membuat pemerintah kemungkinan tidak akan meninggalkan rapid test adalah kemudahan penggunaannya. Rapid test paling tidak bisa dipakai untuk menentukan bahwa seorang yang memiliki resiko terpapar virus COVID-19 ternyata tidak positif COVID-19. Itu sebabnya rapid test ini dilakukan terhadap pelaku perjalanan. Menggunakan tes Swab PCR kepada semua orang yang berisiko membuat penanganan menjadi lebih mahal, lambat dan membutuhkan kapasitas laboratorium yang mumpuni.

Inilah beberapa hal yang menjadi faktor pembeda dalam penanganan COVID-19 di dunia saat ini. anggaran, teknologi dan infrastruktur. Semua negara sebenarnya memiliki pola penanganan yang sama terhadap virus ini. Rujukannya adalah WHO. Pendekatan yang disarankan adalah membuat grafik penularan menjadi selandai mungkin. Ini otomatis akan menekan angka korban jiwa. Permasalahannya tingkat kelandaian akan berbanding lurus dengan stagnasi ekonomi.

Bagi negara yang memiliki tiga modal diatas cara terbaik adalah ‘menyapu’ bersih area yang diduga menjadi pusat penyebaran. Yang lebih ekstrim lagi melakukan scanning terhadap satu negara. Artinya paling tidak negara itu harus punya stok rapid test sejumlah populasi di negara tersebut. Hal ini tentu saja tidak bisa dilakukan di negara berkembang, apalagi negara miskin. Tapi untungnya. Negara miskin dan berkembang ini punya risiko terpapar yang lebih kecil karena tingkat ekonomi yang rendah membuat pelaku perjalanan di negaranya lebih sedikit.

Disinilah sebenarnya dilema yang dialami Provinsi Bali saat ini. Pencegahan-pencegahan di sisi pariwisata di masa awal COVID-19 sebenarnya sudah berhasil menekan penyebaran lokal meski dengan ongkos matinya industri pariwisata. Kemudian datanglah pelaku perjalanan yang berstatus PMI. Langkah pencegahan pun sudah dilakukan dengan melakukan rapid test di setiap pintu masuk. Yang negatif tetap karantina mandiri selama 14 hari. Di negara lain kala itu perilakunya sama. Namun ternyata ada beberapa kasus yang karantina mandiri ini ternyata positif. Celakanya ada yang menyebabkan transmisi lokal (menulari keluarga/orang dekat). Akhirnya Gugus Tugas Bali mengambil langkah baru. Per 24 April yang negatif karantina di tempat khusus. Terakhir baru terdeteksi ternyata yang terlanjur karantina mandiri ada yang positif lagi (tanpa gejala) dan menyebabkan cukup banyak transmisi lokal.

Dilema bagi Bali adalah, Bali yang destinasi wisata nomor satu di dunia ini tak semakmur yang dibayangkan orang. APBD dan PAD Provinsi Bali masih jauh lebih kecil dari daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya keuntungan sebagai daerah pariwisata adalah Bali punya hotel-hotel yang kini tak berpenghuni bisa jadi tempat karantina para PMI yang pulang itu. Beruntung Bali bisa mendorong UNUD yang baru punya Rumah Sakit (RS) untuk menjadikan RS itu sebagai tempat penanganan khusus COVID19. Sisanya seperti alat rapid test, kemampuan Swab PCR, dan kebutuhan lainnya Provinsi Bali sangat tergantung dengan pemerintah pusat.

Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang