DENDA MASKER

Foto: Diskominfos Provinsi Bali

Bali menetapkan denda seratus ribu rupiah bagi warga yang beraktivitas tidak menggunakan masker. Dasarnya Pergub No. 46 Tahun 2020 yang ditetapkan tanggal 31 Agustus 2020. Selama satu minggu setelah diterbitkan ada masa sosialisasi. Dalam masa ini Satpol PP, instansi terkait termasuk relawan Covid-19 Bali melakukan sosialisasi dan membagikan masker.

Sebelumnya, 6 Agustus 2020 sudah ada Inpres No 6 Tahun 2020. Inpres ini diantaranya mengatur sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Mulai dari teguran, denda hingga penutupan usaha. Kesinilah Pergub No. 46 Tahun 2020 ‘menginduk’.

Aturan pasti menimbulkan pro dan kontra. Apalagi menyangkut denda. Bagi masyarakat awam denda ini seakan menjadi tekanan baru bagi ekonomi yang sudah susah. Namun bagi yang percaya Covid-19 itu ada, seperti misalnya para tenaga kesehatan, aturan ini menjadi penyemangat. Bahwa Pemerintah masih berusaha untuk mencegah penyebaran Covid-19. Meski dengan sedikit paksaan.

Tapi bukankah pemerintah pula yang meminta masyarakat untuk beraktivitas. Memulai kehidupan era baru. Mengapa tidak sekalian saja ‘lockdown’?. Tanpa lockdown saja ekonomi sudah terengah-engah. Apalagi Bali yang tergantung pariwisata. Minus ekonominya paling parah se-Indonesia. Mau tidak mau, tanpa pariwisata pun, ekonomi harus mulai bangkit. Aktivitas harus dilakukan. Banyak orang sepakat dengan itu.

Di dalam ekonomi ada istilah eksternalitas. Secara sederhana eksternalitas adalah dampak yang ditimbulkan dari sebuah aktivitas ekonomi. Dampak ini bisa positif. Bisa juga negatif. Ekonomi juga bergerak dari sebuah asumsi. Dan hari ini asumsi umum yang dipercaya di dunia adalah virus Covid-19 ada dan menyebar antar manusia. Yang paling rentan dari droplet. Droplet adalah tetesan air liur yang menyembur ketika kita berbicara. Ukurannya ada yang sangat kecil, hampir tak terlihat mata telanjang. Banyak penelitian soal droplet. Salah satu eksperimen dilakukan di Jepang. Ada di Youtube. Dengan inframerah melihat pola penyebaran droplet yang bisa menularkan virus ke orang lain. Satu cara untuk meminimalkan penyebarannya adalah dengan memakai masker.

Dengan asumsi bahwa Covid-19 itu ada maka kita harus sadar bahwa ekonomi hari ini berjalan diluar kondisi normal. Ada eksternalitas baru yang hadir dari keberadaan Covid-19. Eksternalitas negatif yang muncul hanya karena membuka mulut. Tidak memakai masker. Ini seperti perokok yang merokok di kerumunan. Dampaknya dirasakan oleh orang disekitarnya. Bedanya tak ada asap yang terlihat.

Kebijakan terhadap eksternalitas biasanya adalah pajak atau subsidi Pigovian. Dalam hal eksternalitas negatif maka yang berlaku adalah pajak. Apakah denda masker ini adalah salah satu bentuk pajak pigovian? Bisa jadi. Idealnya pajak menghitung besarnya kerugian sosial dari eksternalitas. Tapi jika ini dilakukan akan jadi rumit lagi. Angka seratus ribu tampaknya diambil dengan asumsi memberikan efek edukasi ketimbang soal hitungan ekonomi secara riil. Bagi warga angka tersebut cukup untuk berhitung untung rugi dan harapannya berimplikasi terhadap kepatuhan.

Tapi kenapa denda  ini baru berlaku sekarang. Beberapa negara sudah memberlakukan denda sebelum ini. Bahkan nilainya jauh lebih besar. Apakah pemerintah melakukan pembiaran. Atau selama ini pemerintah mencoba melakukan kebijakan lunak seperti sosialisasi dan promosi. Namun ketika masih juga terjadi ketidakpatuhan, maka aturan tegas dibuat. Sejak awal pandemi, pemakaian masker sebagai alat pencegah utama penyebaran Covid-19 sudah diketahui dan disosialisasikan. Itu sebabnya pemerintah mengadakan masker besar-besaran. PNS di Bali bahkan diminta menyumbang masker kain untuk dibagikan ke masyarakat. Begitu juga dengan instansi pemerintah lain termasuk BUMN dan BUMD berlomba menyumbang masker. Tidak hanya itu gerakan-gerakan altruisme kelompok masyarakat tidak hanya memberi sembako kepada warga terdampak, namun juga masker dan sejenisnya.

Sulit memang ketika pro dan kontra soal keberadaan Covid-19 masih diperdebatkan di masyarakat. Rumus protokol kesehatan seperti setengah-setengah diperhatikan. Sampai ada orang dekat terinfeksi, baru muncul kewaspadaan. Aktivitas ekonomi dengan kebiasaan baru memang susah-susah gampang. Denda masker adalah kebijakan yang wajar untuk meningkatkan kepatuhan protokol kesehatan. Namun protokol kesehatan bukan saja soal masker, ada cuci tangan, jaga jarak dsb. Oleh karena itu penegakannya juga jangan terlalu saklek. Lihat juga motif  dan situasi pelaku. Edukasi harus jadi pendekatan pertama.

Yang tak kalah penting protokol lainnya juga diperhatikan. Waktu bisa membuat kita lengah. Tempat cuci tangan ada tapi sabunnya habis. PHBS mulai diabaikan. Prinsipnya, jika belum kena belum tentu tak akan kena. Syukur kalau kena dan tak bergejala kalau kena dan bergejala? Belum lagi menularkan ke orang lain karena kelalaian kita.

Jika denda ini tak juga efektif, maka perlu dipikirkan apakah aktivitas ekonomi kita perlu dirubah. Mungkin subsidi dialihkan ke pemanfaatan teknologi sebagai alat aktivitas ekonomi utama. Mungkinkah?


Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang