Antara Ambisi dan Nasionalisme


Hidetoshi Nakata adalah salah satu pahlawan sepakbola di era saya. Era saya dalam arti saya melihat dengan mata kepala dari awal masa keemasannya hingga akhirnya ia pensiun (dari sepakbola profesional). Namun ada kesan yang mendalam jika saya mengingat, menganalisis, menelaah karir dari salah satu pemain yang masuk dalam jajaran legenda Negeri Sakura (Jepang), Asia bahkan Dunia ini.

Nakata memang tidak memiliki karir yang cukup panjang sehingga saya bisa mengikutinya. Ia mulai mencuat di usia 20an ketika Piala Dunia 1998 yang diselenggarakan di Prancis. Karirnya pun diakhiri di ajang yang sama 8 tahun kemudian saat digelar di Jerman tahun 2006. Usia yang terbilang muda bagi seorang pemain sepakbola profesional untuk menyatakan pensiun tanpa alasan kesehatan.

Saat Piala Dunia 1998 namanya memang tidak begitu menonjol jika dibandingkan bintang-bintang dunia dari Eropa dan Amerika Latin seperti Zidane dan Ronaldo. Namun untuk ukuran level benua Asia ia jelas telah mencuri perhatian dunia. Dan sejak saat itu pula karirnya menanjak melanglang buana ke Eropa, bahkan tercatat sebagai salah satu pemain yang membawa klub papan atas Italia AS Roma menjuarai salah satu Liga terbaik di dunia saat itu. Walaupun perannya bukan pemain inti seperti Fransesco Totti, jelas ia memiliki kontribusi disitu, bahkan lebih dari itu ia telah menjadi pelopor di benua Asia dan berhasil lepas dari bayang-bayang pendahulunya (Kazu Miura) yang telah lebih dulu mencicipi Liga Italia.

Ia mungkin bisa disebut pembuka jalan karena setelah dirinya tercatat beberapa pemain Jepang (selain Korsel dari benua Asia) yang direkrut klub-klub besar Eropa yang jelas bukan karena alasan bisnis semata (pendapatan klub Perugia, klub pertama Nakata di Italia dikabarkan meningkat dari merchandise dan tiket penonton Jepang dan Asia). Nama-nama seperti Inamoto, Ono, Ahn Jung Hwan (Korsel) dan Nakamura berturut-turut tampil di Liga Inggris, Belanda dan Italia itu sendiri.

Namun apapun itu Nakata jelas telah menjadi figur contoh yang membuat euforia rakyat Jepang yang sebelumnya hanya bisa melihat Tsubasa berjaya di sepakbola dunia hanya melalui komik seperti melihat sebagian fiksi tersebut terpampang di depan mata dalam bentuk yang nyata. Bahkan salah satu komik Jepang Shoot! mengangkat tokoh Toshihiko Tanaka sebagai tokoh utama yang jika dibolak balik namanya agak mirip Hidetoshi Nakata entah disengaja atau tidak.

Harapan itu pula yang memunculkan keinginan di tingkat yang lebih tinggi lagi. Bukan hanya pemain, tetapi tim nasional seharusnya juga berjaya di dunia. Harapan tersebut ditunjang bertambahnya pemain yang berkompetisi di level Eropa seperti Liga Jerman dan Spanyol. Dan kebetulan juga untuk pertama kalinya pada tahun 2002 Piala Dunia diselenggarakan di AsiaKorea (untuk pertama kalinya pula diselenggarakan 2 negara). Impian untuk berjaya di negeri sendiri semakin menjadi motivasi dan sekaligus ambisi. tepatnya Jepang dan

Dan pada akhirnya Jepang dengan kekuatan “Eropa”nya berhasil mencatat prestasi terbaiknya dalam sejarah Piala Dunia dengan mencapai babak 16 besar. Meskipun sebenarnya prestasi jauh lebih fenomenal dicatat rekan sesama penyelenggara Korsel yang berhasil mencapai babak semifinal sekaligus mengukuhkan sebagai tim dari “dunia ketiga” yang berrhasil mencapai babak tertinggi dalam sejarah Piala Dunia.

Kembali kepada Nakata, dengan predikat sebagai pemain “Eropa” dan berpengalaman di kompetisi internasional membuatnya menjadi tumpuan tim nasional Jepang, bahkan lebih dari “pemain asing” hasil naturalisasi seperti Alex. Dengan status pemain profesional pula ia harus siap untuk pulang pergi demi membela tim nasional tanpa melupakan kewajiban di klub. Walaupun beberapa pemain lain pun bernasib serupa seperti Inamoto, Ono, dkk.

Dengan status pemain bintang yang karirnya menanjak dan cukup stabil dibandingkan rekan senegaranya Nakata tampaknya menyimpan ambisi untuk membawa raihan yang lebih baik bagi dirinya sebagai individu dan tentunya di tim nasional. Namun setelah puncak suksesnya di AS Roma ia belum lagi mencicipi prestasi serupa atau lebih baik. Bahkan ia mulai kehilangan tempat dalam tim bermain, sehingga harus mencari klub lain. Yang pasti nama Nakata masih diminati banyak klub-klub Eropa walaupun sekelas medioker dimana akhirnya ia berlabuh di klub Inggris Bolton Wanderers, yang banyak dihuni pemain-pemain senior berpengalaman internasional seperti Jay-Jay Okocha (Nigeria), Ivan Campo (Spanyol), dll.

Namun tidak banyak yang menyangka bahwa klub inilah pelabuhan terakhir bagi seorang Hidetoshi Nakata yang akhirnya memutuskan pensiun persis selepas timnya tersingkir di babak awal Piala Dunia 2006 dengan rekor 1 kali seri melawan Kroasia dan 2 kali kalah dari Brasil dan Australia. Hasil yang tampaknya sangat mengecewakan bagi Nakata sehingga menggelar konferensi Pers sekembalinya di Jepang untuk mengumumkan pengunduran dirinya dari seluruh kegiatan sepakbola profesional, yang berarti akhir dari karirnya sebagai pemain. Mengejutkan? Jelas sekali, dengan usia “masih” 28 tahun dan masih aktif bermain di Liga Inggris salah satu liga terbaik di dunia rasanya terlalu cepat untuk mengakhirinya.

Muncul spekulasi bahwa itu hanyalah sebuah pernyataan emosional setelah penampilan mengecewakan di Jerman. Namun spekulasi itu akhirnya pupus setelah ia memang tidak kembali ke Inggris, apalagi mengingat kekonsistensian orang Jepang. Lalu apa alasan Nakata?

Dalam konferensi pers disebutkan bahwa ia sudah mencapai titik jenuh dan ingin beristirahat dari sepakbola. Padahal bagi seorang pemain sepakbola, sepakbola itu sendiri adalah kesenangan, sehingga banyak pemain yang pensiun pada saat merasa dirinya benar-benar sudah tidak mampu secara fisik ataupun psikis mengikuti roda kompetisi. Kondisi fisik semisal cedera serius yang tidak mungkin sembuh, usia yang sudah tidak memungkinkan bermain dengan ritme tinggi. Atau kondisi psikis yang disebabkan tekanan kompetisi yang cukup berat, alasan keluarga, obsesi yang sudah tidak mungkin tercapai atau sebaliknya apa yang dicari sudah didapatkan.

Kondisi fisik tampaknya bukanlah isu serius dalam karir Nakata, setidaknya untuk membuatnya mengundurkan diri. Tampaknya alasan psikislah yang menjadi titik tolak munculnya keputusan tersebut. Spekulasinya adalah Nakata merasa karirnya di klub sudah mengalami penurunan, ada beberapa masalah dengan cedera meskipun tidak serius namun cukup menghambatnya untuk kembali ke level yang ia harapkan. Dan puncaknya adalah ketidakmampuannya untuk mengangkat tim yang sangat diharapkan oleh rakyatnya untuk mencapai level seperti yang mereka baca di komik-komik ciptaan mereka. Dimana di tim tersebut ia (masih) dianggap sebagai pemain yang paling berpengaruh.

Padahal jika ditelaah jika ia masih mau berkarir, setidaknya dia masih bisa beberapa tahun lagi bermain di Eropa dan tentunya mendapatkan kompensasi yang lebih dibanding bermain di negaranya. Kalaupun kegagalan tim nasional, ia tidak bisa menyalahkan dirinya karena sebagai tim masih ada pemain-pemain lain yang secara realistis pun masih kalah kelas dalam level Piala Dunia. Namun sekali lagi bagi Nakata tidak ada alasan lagi untuk menapaki karirnya di dunia profesional. Bagi orang Jepang nasionalisme adalah segala-galanya. Dan bagi Nakata tak ada lagi yang bisa dicapai, ia telah berlatih sekeras mungkin (seperti yang pernah diutarakannya dalam wawancara di sebuah televisi mengapa ia bisa bermain di Eropa) dan mencoba yang bisa ia lakukan, namun tibalah titik dimana ia berkata saya tidak bisa lagi naik ke tangga yang lebih tinggi daripada ia menunggu untuk jatuh, atau turun pelan-pelan ia memilih untuk berhenti. Berhenti di masa-masa emas, seperti yang pernah dilakukan beberapa pemain lain semisal Eric Cantona (ikon Manchester United dan tim nasional Prancis) walaupun mungkin dengan alasan yang berbeda-beda.

Comments

tisa said…
Ciciiuu...
Lagi rajin2nya post di blog yak?!?!
Kalo post yg rajin mas..jgn musiman kaya gw...xixixixi... :P
Made Dwipa said…
Hahaha... Iya nih.. mudah2an postingnya ga kayak gaji pemain bola di indonesia lagi alias rapelan :P

Thanks 4 the comment :)

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang