Ngomong opo to bli #2 CINTA

pixabay.com
Beberapa waktu terakhir ini anak saya yang baru beranjak 3 tahun menyukai lagu-lagu Cherrybelle. Saya pikir ini lebih baiklah karena sebelumnya ia sempat tertarik dengan video klip Little Mix yang terbilang vulgar. Awalnya sih lagu yang disukai ‘Beautiful’, terus ‘Dilema’, tapi terakhir kemana-mana mintanya lagu ‘Love is You’ bahkan versi covernya Ecoutez dan Mahesya pun dia suka. Saya bisa bayangkan Ibunya harus menahan diri karena nggak bisa dengerin lagu kesukaannya kalau ada saya dan si kecil. Lirik lagu ‘Love is you’ yang simple dan universal terasa aman dinyanyikan anak kecil. Bahkan tak jarang saya merasa tersentuh bernyanyi bersamanya. Cinta memang katanya universal, tapi kenapa dia identik dengan romantisme.
Kebetulan juga beberapa waktu terakhir ini adalah hari baik, jadi saya menghadiri beberapa undangan upacara seperti pernikahan. Menghadiri undangan berarti bertemu dengan banyak orang dan tak jarang mereka adalah pasangan. Diam-diam saya memperhatikan gestur pasangan-pasangan yang hadir di upacara yang saya hadiri. Tentu saja karena sebagian adalah saudara atau kenal maka paling tidak tahu lah latar belakang mereka. Ada yang baru menikah, ada yang baru punya anak, ada yang anaknya sudah besar-besar dan sebagainya. Lucu juga melihat gestur mereka. Ada yang seperti sahabat, ada yang masih kayak orang pacaran, ada yang santai, ada yang serius, tapi ada pola komunikasi yang berbeda di setiap pasangan. Ada rasa cemburu juga sih melihat gestur-gestur mereka.
Seperti saya bilang, cinta begitu identik dengan romantisme. Gestur romantis biasanya ditunjukkan dengan pegangan tangan, bercanda tawa, tatapan mata dan semacamnya. Meskipun tren drama korea bisa juga menggambarkan kemarahan dan menyebalkan sebagai sebuah tindakan romantis. Tentu bukan saja di tingkat pasangan, di tingkatan lain seperti keluarga pun canda tawa dan kebersamaan adalah simbol-simbol cinta. Padahal dalam kenyataannya ada keluarga dan pasangan yang harus terpisah jarak. Lalu dimanakah letak cinta mereka. Komunikasi kabarnya menjadi kunci dari hubungan, termasuk jarak jauh. Apakah komunikasi itu cinta? Bagaimana dengan Cinta yang lebih tinggi lagi, Cinta dengan Tuhan. Doa adalah bentuk komunikasi kita dengan Tuhan, tapi apakah sebatas itu?
Lalu saya ingat dengan kepercayaan saya, bahwa selain doa ada yang disebut dengan Yadnya yang identik dengan persembahan atau pengorbanan. Entah dimana saya pernah membaca, bahwa sejak dahulu kala sudah ada wisdom spiritual yang mengatakan bahwa Cinta adalah Pengorbanan. 
Beberapa waktu lalu saya sempat membaca di timeline facebook saya seorang teman mengutip pernyataan Ayahandanya bahwa pernikahan adalah tentang mengalah. Tentu saja ini pernyataan yang pesimistis, namun jika dikaitkan dengan pengorbanan maka kata ‘mengalah’ memiliki kemiripan arti dengan berkorban. Paling tidak berkorban perasaan. Meski tak harus sepenuhnya begitu. Sama seperti hubungan kita dengan Tuhan, apakah persembahan kita dilakukan dengan tulus atau karena ada maunya? Itu mungkin yang menunjukkan tingkatan cinta. Itu sebabnya ada pendapat cinta orang tua kepada anak yang paling murni. Contoh kecil saja, adakah orang tua yang menyimpan buku hutang piutang dengan anaknya. Bahwa sang orang tua sudah membeli susu, baju, menyekolahkan anak dan sebagainya dan anak harus membayarnya di masa depan. Mungkin saja ada, tapi cinta tak mengharapkan apa-apa. Itu sebabnya Ajahn Brahm, seorang biksu terkenal, dalam salah satu tipsnya untuk melepas dan lebih bahagia mengatakan berikanlah yang kau punya dan jangan mengharap imbalan apa-apa. Saya rasa itulah bentuk cinta yang sejati.
Tapi itukan kata biksu, kalau kita yang dekat dengan kehidupan duniawi masih harus belajar seperti itu.
Denpasar, 12 Juni 2017
Ngetik sambil dengerin Mocca, Kenny G dan ngemilin abon ayam cap PolPol




Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang