DEMOKRASI DI ERA DIGITAL

Dari tribun penonton seorang Ibu berteriak keras “kok nggak diumpan sih!”. Tak berapa lama komentar lain muncul “kok malah kesana sih!”. Dan dilanjutkan dengan “kok” lainnya. Di sisi lain ada seorang Bapak tak kalah keras berkomentar “Aduh si Itu lemah banget”. Tak lama lagi dia berkomentar “Harusnya tadi digituin”. Dari belakang terdengar suara salah seorang ofisial tim berkata “Santai aja, pasti menang kok”.

Tiba-tiba saya seperti berada di dunia maya. Tepatnya melihat media sosial. Saya membayangkan si Ibu dalam bentuk profil facebook dengan statusnya “kok gini sih”. selanjutnya si Bapak jadi akun twitter dengan twit ‘kritis’nya. Dan si ofisial saya bayangkan seperti akun instagram yang captionnya kadang nggak dibaca.

Keriuhan media sosial saya lihat persis seperti tribun penonton sepakbola. Khususnya di masa pemilu. Si A sibuk mendukung 01. Si B sibuk ngeshare kejelekan 01. Si C sibuk selfie. 

Dulu, yang terjadi di tribun penonton sepakbola ya cuma penonton disitu aja yang liat, kecuali ada kejadian rusuh yang bikin masuk koran. Sekarang tribun penonton bisa lebih dulu muncul sebelum pertandingannya mulai. Munculnya di media sosial.

Dalam pemilu sama saja. Dulu kampanye bisa diatur jadwalnya biar nggak bentrok. Kecuali kebetulan yang kampanye lewat di jalan sama dengan lawan politiknya. Sekarang juga sama. Cuma ada yang nggak bisa diatur, yaitu kampanye secara tertulis di media sosial. Akhirnya ya bentrok terus. Bentroknya sekarang di grup, tempat umum. Sebagian ada juga di ‘rumah’ masing-masing dan akhirnya ngunci pintu alias diblok. ada juga yang memang sengaja mancing mancing biar bentrok, tapi yang dateng di kolom komen cuma temen sendiri, karena lawannya udah males atau mungkin unfollow.

Inilah demokrasi di era digital. Bukannya tak ada upaya untuk mengatur, tapi ujung-ujungnya ya pro kontra. Pertanyaannya, apakah bentrok ini memang harus dibiarkan karena toh tak ada yang terluka secara fisik. Atau memang perlu ada pembatasan karena siapa tau bentrokan fisik sumbernya juga dari sakit hati karena tulisan. Karena sekarang jaman tulisan mungkin ungkapannya perlu diganti jadi “jarimu harimaumu”.

Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang