Memperkirakan Dampak Virus Corona Terhadap Perekonomian Bali

suasana destinasi wisata di Bali saat isu 'Kota Hantu' dihembuskan salah satu media Inggris


Awal tahun 2020 dunia dikejutkan dengan virus Corona yang menyerang negeri Tirai Bambu. Republik Rakyat Tiongkok, kekuatan ekonomi terbesar saat ini yang seharusnya berpesta menyambut Tahun Baru Imlek justru dibuat berduka dengan datangnya virus yang memakan korban jiwa. Virus yang bermula di kota Wuhan ini mendadak jadi teror bukan saja untuk negara yang masih terlalu familiar dengan sebutan Cina. Tercatat banyak negara ‘menerima’ sebaran virus yang menyerang pernapasan ini.


Beruntung sampai hari ini tak terdeteksi satu kasus pun terjadi di wilayah Indonesia. Meski klaim ini menuai sedikit pro kontra di dunia epidemiologi, pemerintah tegas mengatakan Indonesia masih bersih dari virus Corona. Pemerintah pun mengambil langkah cepat dengan menutup akses ke negeri Tirai Bambu. Padahal frekuensi ekonomi kedua negara cukup tinggi, termasuk dalam hal pariwisata.

Bali, salah satu destinasi favorit dunia termasuk wisatawan Cina diperkirakan terkena imbasnya. Seminggu setelah penutupan akses wisatawan Cina, penulis berkesempatan datang ke daerah wisata paling terkenal di Bali, Kuta dan penulis mendapati daerah itu masih penuh sesak, bahkan mencari parkir pun sulit. Padahal pagi harinya penulis mendapat sebaran berita via WA yang mengatakan Bali menjadi ‘Kota Hantu’. Beberapa waktu kemudian tetangga yang mengaku punya saudara bekerja di sektor pariwisata pun mengatakan penutupan ini tak banyak berpengaruh karena spending wisatawan Cina tak sebesar wisatawan Amerika dan Eropa.

Pada hari raya Galungan penulis berkesempatan pulang ke Singaraja. Meski tak bisa dijadikan ukuran langsung, namun penulis merasa perjalanan pulang pergi ke Singaraja lebih lancar dari biasanya. Padahal biasanya banyak bis pariwisata yang melintas di jalur ini. Terakhir, penulis mengantar anak ke sebuah destinasi wisata Museum 3D di kota Denpasar. Di Museum (yang menurut penulis sebenarnya lebih cocok disebut destinasi wisata selfie indoor) ini penulis mendapati kondisi yang sangat sepi. Bahkan pada saat saya dan anak datang hanya kami berdua yang ada di tempat itu. Saya sempat berbincang dengan karyawan yang mengantar kami dan menurutnya ketiadaan wisatawan Cina berpengaruh besar terhadap kunjungan ke Museum tersebut. Bahkan menurut pemuda asal NTT ini ada beberapa teman yang bekerja di sektor pariwisata juga sudah dirumahkan.

Virus Corona sudah bukan lagi menjadi ancaman tapi ada dampak yang dirasakan


Soal spending wisatawan Cina yang lebih kecil dari wisatawan Amerika dan Eropa memang benar adanya. Survei yang dilakukan Bank Indonesia Perwakilan Bali pada tahun 2018 menempatkan wisatawan Australia sebagai spender tertinggi di angka 16,6 juta rupiah diikuti dengan Inggris dan Amerika. Sebaliknya wisatawan Tiongkok ‘hanya’ mengeluarkan 8,8 juta rupiah. Namun dengan rata-rata menginap hanya 6 hari, pengeluaran rata-rata per hari wisatawan Cina masih lebih tinggi dari beberapa negara lain. Belum lagi jika angka itu dikalikan dengan jumlah wisatawan Cina yang datang ke Bali konon sempat menempati posisi kedua setelah Australia.

Pada periode Januari-Agustus 2018, dengan jumlah wisatawan sebanyak 972.442 orang Cina menjadi penyumbang terbesar pelancong mancanegara yang datang ke Indonesia melalui bandar udara I Gusti Ngurah Rai.  Sementara BPS mencatat kunjungan wisatawan China ke Indonesia selama Januari sampai Juni 2019 mencapai 1,05 juta orang, terbanyak kedua setelah wisatawan Malaysia.  Dengan asumsi satu juta wisman saja dikalikan dengan 8,8 juta rupiah, maka potential loss pariwisata Bali paling tidak 8,8 milyar rupiah. Itu baru dari Cina, belum lagi negara lain. Menurut Astindo wabah virus corona  membuat orang-orang takut bepergian. Ini berarti potensi berkurangnya wisatawan bukan saja dari Cina saja. Astindo mengatakan wabah itu telah membuat pengusaha jasa pariwisata kehilangan 30% keuntungan akibat pembatalan atau penundaan perjalanan dan berpotensi lebih banyak lagi.

  1. Pemerintah memberikan tambahan anggaran sebesar Rp 298,5 milyar untuk insentif airline dan travel agent dalam rangka mendatangkan wisatawan asing ke dalam negeri. 
  2. Untuk wisatawan dalam negeri diberikan sebesar Rp 443,39 milyar insentif dalam bentuk diskon sebesar 30 persen potongan harga untuk 25 persen seat per pesawat yang menuju ke sepuluh destinasi wisata. 
  3. Sepuluh destinasi pariwisata yang tersebar di 33 Kabupaten/Kota tidak dipungut pajak hotel dan restoran (sebesar 10%) selama 6 (enam) bulan. Sepuluh destinasi pariwisata tersebut yaitu: Danau Toba, Yogyakarta, Malang, Manado, Bali, Mandalika, Labuan Bajo, Bangka Belitung, Batam, dan Bintan. Sebagai gantinya, Pemerintah Pusat akan memberikan hibah sebesar Rp. 3,3 triliun kepada sepuluh destinasi pariwisata. 
  4. Dalam APBN juga tersedia anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Pariwisata sebesar Rp 147 milyar yang akan dikonversi menjadi hibah ke daerah-daerah untuk memacu pariwisatanya.

Kebijakan ini rupanya tak serta merta disambut baik. Kabupaten Badung mengajukan ‘protes’ karena tak bisa memungut PHR yang menjadi sumber pendanaan andalan. Ini salah satunya karena belum jelasnya skema pembagian hibah apakah akan dibagi rata ke semua destinasi. Sebagai gambaran, PAD Badung pada triwulan III 2018 mencapai 3,3 triliun. Itupun karena terpengaruh Erupsi Gunung Agung. Sementara target PAD pada tahun 2020 mencapai 5,3 triliun rupiah. Jadi bisa dibayangkan kekhawatiran Pemkab Badung terhadap efek Virus Corona bagi APBD Badung.

Diluar empat insentif tersebut, Mendagri Tito Karnavian mengatakan Presiden Jokowi memerintahkan kementerian membuat acara di daerah wisata yang terdampak virus Corona
“Perintah Pak Presiden, semua Kementrian yang punya duit total 1200 Triliun ini agar membuat kegiatan kegiatan khusus dalam waktu 3 bulan pertama ini di daerah wisata yang terdampak oleh wabah virus Corona, terutama Bali, Manado dan Riau,” kata Tito.

Masih belum jelas seberapa besar dan seberapa lama virus ini akan berdampak terhadap perekonomian dunia. Padahal sektor pariwisata salah satunya bergantung pada kondisi perekonomian dunia. Itu sebabnya dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah daerah harus berhati-hati terhadap ketergantungan berlebih terhadap globalisasi. Kemajuan teknologi khususnya di bidang transportasi dan informasi memang menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Namun di sisi lain, orientasi yang berlebih terhadap pertumbuhan berpotensi menciptakan ketidaknyamanan tersendiri seperti kepadatan, pemanfaatan sumber daya yang masif dan eksploitasi alam. Padahal dalam kearifan lokal orang Bali, tak ada yang lebih baik daripada keseimbangan. Sumber kebahagiaan itu terletak pada keseimbangan. Jika kesenangan ibarat gula yang membuat manusia ketagihan hingga menimbulkan penyakit, maka keseimbangan adalah kesadaran bahwa gula perlu dikonsumsi namun dalam batas yang sewajarnya. Dalam bahasa sehari-hari orang Bali sering mengatakan “Amonto liangne, amonto sebetne” (seberapa banyak kesenangan, maka sejumlah itu pula kesusahan yang diterima).

Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang