COVID Yang Bikin Kesal

Pemerintah setiap hari memberi update tentang virus COVID-19

Di sebuah lorong gelap yang tak tersentuh matahari, virus dan bakteri ngobrol. Baru kali ini mereka kesal luar biasa dengan munculnya saudara baru yang lahir di Cina. Bukan apa-apa, saudara baru bernama COVID-19 ini membuat gempar seluruh dunia, bukan hanya Cina saja. Para manusia menjadi begitu sadar dengan kebersihan dan kesehatan diri mereka. Yang paling terimbas tentu saja bakteri dan virus lain yang biasanya hidup nyaman di masyarakat yang cuek bebek. 

Bayangkan, biasanya si bakteri dan virus ini bisa santai saja ngendon di gagang pintu. Kini tiba-tiba semua disemprot cairan bernama disinfektan, membunuh si bakteri dan virus yang nekat nongkrong disana. Bukan itu saja, tangan-tangan manusia yang biasanya cuek kini tiba-tiba begitu rajin terbilas sabun dan alkohol. Bakteri dan virus benar-benar dibuat tak leluasa hinggap.

Bahkan para manusia tidak lagi sembarangan berkeliaran, mereka bersembunyi di dalam rumah. Menjaga kebugaran tubuhnya dengan minum vitamin dan jamu. Semua gara-gara si COVID-19. Maka si bakteri dan virus kini hanya termangu di pojokan lorong gelap itu menunggu kapan manusia melepaskan kesiagaannya lagi.

Di tempat lain, Joni, manusia tulen, termangu di depan komputer dengan raut muka yang tak terlalu bahagia. Saudaranya Jeni yang memperhatikan dari jauh tak kuasa untuk tidak 'menggoda' Joni. 'Kok murung, ini kan hari-hari yang diimpikan para introvert seperti kamu. Hari dimana diam dirumah adalah tindakan yang paling normal untuk dilakukan," kata Jeni.  

"Entahlah, mungkin karena introvert itu sensitif yang cukup peka dengan perubahan. Contohnya di media sosial. Efek orang nggak kemana-mana bikin medsos tambah riuh. Belum lagi informasi-informasi simpang siur. Saya heran dengan mereka yang koar-koar jangan panik, sementara kicauan mereka itu yang bikin panik," cerocos Joni. 

Joni melanjutkan kegalauannya. Menurutnya media sosial jadi terlalu sibuk dengan satu isu. Isu yang menurutnya memang penting, tapi jadi kehilangan sisi humanisnya. Informasi soal perkembangan dampak dan kebijakan apa yang diambil pemerintah memang penting, tapi Ia juga ingin melihat bagaimana misalnya orang membimbing anak-anaknya belajar dirumah, memanfaatkan waktu untuk menata/membersihkan lingkungan rumahnya atau bahkan bagaimana mereka bekerja dari rumah. Alih-alih yang dilihatnya jibaku informasi dan opini. Belum lagi disinformasi alias hoax yang bertebaran dimana-mana.

Joni bahkan tak terlalu tertarik dengan postingan-postingan soal bagaimana baiknya dampak lingkungan dari social distancing. Mungkin karena sifat melankolisnya terlanjur mendominasi. Baginya tidak semua orang bisa memandang positif keadaan yang mengancam ekonomi. Apalagi jika orang-orang yang mendadak peduli lingkungan itu disaat krisis ini berakhir akan tetap malas untuk membawa tumbler dan tas belanja.

"Ya udahlah Jon, namanya juga manusia, apalagi di media sosial pasti punya pendapat masing-masing yang nggak bisa dipungkiri dipengaruhi sama latar belakang lingkungan, termasuk ego," timpal Jeni. Lagian banyak juga kan postingan yang ada benernya termasuk soal lingkungan itu. Jeni menambahkan selama ini Joni bisa tahan kok dengan riuh rendah dua kali Pilpres Jokowi vs Prabowo yang kata-kata dan disinformasinya lebih enggak enak dibaca dan Joni bisa tahan untuk sekedar nggak unfollow satu orang pun. "Ini karena situasi aja, orang kan pasti ngikutin isu yang lagi tren, apalagi isu yang bisa mengancam jiwa," kata Jeni lagi.

"Ngomong-ngomong udah baca grup WA?" Jeni mengalihkan perhatian.  
"Grup WA?!" Joni mendelik.

Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang