Don't Cross The Line

Taman yang indah tertata dengan rapi dan teratur

Saya bukanlah seorang ahli tata ruang seperti adik saya, namun saya kebetulan punya sedikit hobi bertaman (bukan berkebun lho..). Kalau ada salah satu hal yang saya petik dari pengalaman bertaman adalah keindahan ditentukan dari keteraturan tanaman. Tentu saja tanaman tak memiliki pikirannya sendiri. Itulah yang membedakan taman dengan hutan. Ada faktor manusia berperan untuk menciptakan keteraturan itu. Salah satu yang paling simpel adalah memangkas tanaman agar tak mengganggu yang ada di sampingnya. Agar ia tumbuh tak terlalu liar dan mengambil ruang yang tak seharusnya.

Seorang anak bernama Daffa menghadang pengendara motor di salah satu Jalan di Semarang
Perspektif inilah yang saya ambil untuk melihat fenomena ‘pahlawan’ trotoar seperti dik Daffa dan mbak Alfini (Maaf mas Elanto tak masuk kriteria, meski keberaniannya saya acungi jempol). Pengalaman saya ketika beberapa tahun lalu sempat tinggal di Jakarta memunculkan sebuah kesimpulan sederhana, bahwa motor di jalan raya itu seperti air. Mengapa? Karena mereka memiliki kemampuan untuk memasuki ruang-ruang kosong yang ada, khususnya di masa kemacetan. Dan tentu saja berada di antara kemacetan itu membuat ruang kosong seperti trotoar menjadi sesuatu yang menggiurkan, apalagi dalam situasi yang terburu-buru. Jujur saja saya pun bukan orang yang bebas dari mengambil ruang publik itu, saya pernah sesekali ‘mencuri’nya untuk menyalip kendaraan lain dalam kondisi buru-buru (tetap saja salah-sorry).


Sekelompok pejalan kaki menghadang pengendara motor yang naik ke trotoar
Alfini menjadi berita utama karena keberaniannya seorang diri menghadang sejumlah pengendara
Bukan sekedar menghadang Daffa bahkan memaksa pengendara turun dari trotoar
Yang membuat saya miris tentu saja panen pujian terhadap para ‘pahlawan’ trotoar ini (pasti ada yang tak setuju dengan pendapat saya ini). Masalahnya pujian dan hadiah ini justru datang dari pemangku kepentingan yang seharusnya tak membiarkan hal itu terjadi. Sama seperti analogi tanaman diawal tulisan saya, meski punya pikiran dan tau peraturan, manusia bila dibiarkan bisa menjadi semakin liar. Itu sebabnya harus ada upaya berkala untuk mengembalikan keteraturan itu (memangkas ‘perilaku’ yang liar). Tentu saja kita tidak berharap Daffa dan Alfini lain (meski manis di media) mengambil resiko dan membenarkan upaya-upaya penegakan aturan sendiri. Apa bedanya mereka dengan para penangkap maling yang main hakim sendiri misalnya. Tentu saja media sebaiknya tidak saja menampilkan kisah-kisah heroik sejenis Daffa, namun juga harus mendorong pemerintah untuk membuat strategi-strategi baru yang menjamin ketertiban dan kenyamanan bagi pengguna trotoar sembari membuat angkutan umum yang layak meski penjual kendaraan akan terus mempenetrasi dengan berbagai cara untuk menghambat hal itu. Di sisi lain pemerintah, khususnya instansi terkait tidak bisa menutup mata dan sekedar mengapresiasi keberanian masyarakat yang meneggakkan aturan namun justru harus mampu menjawab langkah apa yang perlu dilakukan selanjutnya agar tak terjadi pelanggaran berulang.

Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang