Jerakah Pencemar Lingkungan Dengan Denda Dua Juta?

foto: bali.tribunnews.com
Kadang saya tidak terlalu suka dengan kenyinyiran netizen. Tapi seperti vitamin, kritik dan nyinyir itu kadang perlu, apalagi jika menyangkut rasa keadilan.

Seperti yang terjadi baru-baru ini di Denpasar. Secara politik Kota Denpasar sudah biasa dimerahkan, tapi lain ceritanya kalau yang dimerahkan air sungai. Sebuah usaha sablon berhasil membuat heboh kota Denpasar dengan cara memerahkan sungai utama Kota Denpasar, Tukad Badung. Alhasil netizen ramai ‘mengutuk’ ulah pengusaha tersebut.
Arus kecintaan orang Bali terhadap lingkungan memang sedang tinggi. Setelah sukses menghambat rencana proyek reklamasi Teluk Benoa, pemerintah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terus mengeluarkan regulasi yang cukup pro-lingkungan. Terakhir perusahaan BUMN Pelindo III pun harus ‘tunduk’ dan merubah masterplan pengembangan Pelabuhan Benoa gara-gara ada mangrove yang mati. Singkat cerita Satpol PP Denpasar mengambil tindakan tegas dengan menyegel usaha sablon tersebut. Bukan itu saja, oknum pengusaha harus berhadapan hukum karena melakukan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) pelanggaran Perda. Kemarin, vonis Tipiring sudah dijatuhkan berupa denda dua juta rupiah untuk pelaku. Lagi-lagi, netizen ‘nyinyir’. Masak air Tukad Badung jadi merah darah begitu cuma dihukum dua juta rupiah, begitu kira-kira gerutuan netizen. Usut punya usut, ini bukan pertama kalinya tahun ini Pemkot Denpasar menggiring pelaku pencemaran lingkungan ke meja hijau. Sebelumnya, bulan Juni 2019, pembuang limbah ke sungai juga dihukum dengan denda 1,5 juta rupiah. Apakah nilai itu besar atau kecil? Jika subjeknya adalah usaha yang bisa menghasilkan profit jutaan rupiah, tentu saja angka itu memang terlihat kecil. Tidak menimbulkan kesan yang menakutkan bagi oknum lain, padahal masyarakat tak ingin kejadian yang sama terulang. Tapi inilah vonis Tipiring, tindak pidana ringan. Ini adalah vonis dari pelanggaran Perdanya. Memang ada aturan lain yang dilanggar? Ada. Mengutip hukumonline.com, Jika perusahaan tersebut sengaja membuang limbah ke sungai maka diancam pidana berdasarkan Pasal 60 jo. Pasal 104 UU PPLH sebagai berikut: Pasal 60 UU PPLH: Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Pasal 104 UU PPLH: Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Saya tidak mengatakan kasus ini harus dibawa ke ranah hukum yang lebih tinggi. Penegak hukum juga harus mempertimbangkan aspek lain, seperti misalnya kemauan pelaku untuk mengakui dan berkomitmen tidak mengulangi kejahatannya. Tapi masyarakat juga harus tahu bahwa pencemar lingkungan tidak hanya akan terancam dengan Tipiring, ada ancaman hukuman lain yang jauh lebih besar menanti.

Yang terpenting hukum harus ditegakkan. Itu jika kita serius ingin lebih baik, ingin melindungi modal hidup kita, alam dan lingkungan. Atau kita pakai hukuman alternatif seperti meminta pencemar merestorasi lingkungan yang dicemarinya. Pilihan lainnya adalah memberi hukuman moral dengan tidak membeli produk pencemar lingkungan.

Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang