Mengenang Ni Kadek Supandeni (Biang Dek)

Saya sedang di Jakarta ketika kabar kepergian Ni Kadek Supandeni muncul di grup WA keluarga istri. Ucapan belasungkawa saya sampaikan di grup itu. Satu kalimat yang muncul di benak adalah, kapan terakhir kali kami bertemu?

Sebelum saya bercerita siapa wanita yang biasa dipanggil Biang Dek oleh keponakannya tersebut saya harus mengembalikan memori saya ke bertahun-tahun yang lalu. Cerita perkenalan saya dengan perempuan yang kemudian menjadi istri saya sedikit saya percepat ke masa dimana saya akhirnya pindah ke Bali dan memulai pendekatan sesungguhnya. 

Anggota keluarga yang pertama diperkenalkan kepada saya adalah kakak laki-lakinya yang baru saja memiliki anak kedua. Selanjutnya saya bertemu dengan kakak tertuanya hingga diijinkan untuk membawa jalan2 putrinya ke satu mal di Denpasar. Kemudian saya kembali bertamu ke rumah kakak laki-lakinya dan bertemu dengan pria yang kemudian menjadi ayah mertua saya. 

Ada satu lagi diluar keluarga inti yang kemudian diperkenalkan ke saya oleh Nova, perempuan yang saya dekati itu. Di sebuah rumah di Jalan Imam Bonjol Denpasar itulah saya bertemu dengan sosok Ni Kadek Supandeni atau Biang Dek. 

"Kalau mau tau seperti apa rupanya almarhum mama, ya mirip sama Biang Dek ini," kata Nova.

Saya memang tidak pernah bertemu Ibu kandung istri saya. Beliau sudah meninggal beberapa tahun sebelum saya kenal dengan Nova.

Kebetulan suami Biang Dek pejabat di Pemprov Bali jadi tidak sulit bahkan bagi seorang introvert seperti saya untuk menemukan topik pembicaraan yang nyambung di rumah itu. Keluarga Imbo (begitu istri saya menyebutnya) juga tergolong sangat ramah dan ramai, pantas Nova dan saudara-saudaranya tampak nyaman dengan keluarga ini. Tapi yang menurut saya paling mencolok adalah perhatian dari Biang Dek kepada tiga keponakannya, putra dan putri dari alm. kakak perempuannya. Perhatian itu tentu sedikit menular ke saya.

Satu momen yang tak akan saya lupakan adalah ketika saya tinggal di rumah kontrakan dan istri saya yang sedang hamil harus bedrest akibat pendarahan. Tiba-tiba datang Ade, anak kedua Biang Dek, yang datang membawakan berbagai masakan Biang Dek untuk Nova.

Dari beberapa kali pertemuan, saya bisa menangkap gestur Biang Dek yang memberi perhatian kepada tiga keponakannya seperti layaknya ibu sendiri. Dan tiga keponakan beliau memberi balasan yang setimpal atas perhatian tersebut.

Sama seperti saudara-saudaranya, Biang Dek memang punya riwayat penyakit yang sulit disembuhkan. Itu sebabnya kadang kami menjenguk ke rumahnya. Tapi, dengan intensitas pekerjaan dan kehidupan sosial yang baru, memang cukup lama kami tidak main ke Imbo. Sampai akhirnya berita duka itu datang. Mantan PNS Pemkab Badung itu sudah menyusul saudara-saudaranya.

Tidak banyak memang momen pertemuan saya dengan almarhum. Tapi ini bisa jadi sekelumit memori tentang sosok yang mirip dengan almarhum Ibu kandung istri saya. Kini kehidupan baru akan diteruskan, cerita baru menunggu tentang istri saya dan sepupu-sepupunya serta anak saya yang sebaya dengan cucu Biang Dek.

Tentu saja doa saya panjatkan semoga beliau mendapat kedamaian bersama saudara-saudaranya di alam sana.

Sedikit dokumentasi dari ngaben almarhum:

Jumat malam, mendengar cerita dari anak tertua Putu Diah
ikut mengantar jenazah almarhum ke Setra Badung
Pecalang Banjar Munang Maning



Abam, keponakan saya, mendengarkan para orang tua ngobrol di Setra



Comments

Popular posts from this blog

Hello old friends

Devilito

Tirta Yatra ke Blambangan dan Lumajang